Dalam Kenangan
_______________________________________________________________________________________________________
Sebuah Perkebunan Kopi, Kenya, 1928.
Di sebuah perkebunan kopi di tepi Pegunungan Kenya, terdengar suara Konser Klarinet Mozart yang mengalun dari sebuah gramaphone yang diputar di beranda sebuah rumah bergaya Eropa. Seorang gadis muda berwajah bundar kemerahan tampak berseri-seri, setengah berlari kecil menghampiri seorang pemuda yang sedang berbaring di sebuah kursi malas di beranda rumah itu.
“Surat untukmu, Joseph!” ujar gadis itu sambil menyodorkan sebuah amplop kepada pemuda yang ada di hadapannya. “Ini dari Richard…” sambungnya tampak bersemangat.
Joseph, pemuda itu, meraih amplop surat tadi. Diletakkannya amplop itu dengan dua telapak tangannya di atas dada. Lalu dia memejamkan mata.
“Tidak kau buka? Itu dari Richard…” lontar gadis tadi tampak sedikit heran.
Joseph masih terdiam saja. Hingga kemudian, pelan-pelan ia mulai membuka matanya lagi. Tatapan matanya kosong dan jauh.
“Richard pasti akan datang, Emily…” gumam Joseph.
Gadis itu, yang bernama Emily, dengan wajah kecut membalikkan badan dan beranjak dengan lesu tanpa berusaha memberi komentar apa-apa. Sesaat sebelum masuk ke dalam rumah, ia masih menoleh lagi dan menatap Joseph. Raut murung gadis itu tak tersembunyi dari wajahnya, ronanya yang tadi sempat berseri kini pudar. Sejenak dia menatap, setelah itu dengan sedih segera beranjak dari hadapan Joseph.
Joseph masih tetap di beranda itu, di atas kursi malasnya. Matanya menerawang, menelusur menyeberangi halaman rumah, menembus dan melewati lereng-lereng kebun kopi, sampai ke barisan perbukitan di kejauhan di bawah naungan langit sore awal bulan April. Cakrawala sore tampak melukis ornamen-ornamen cahaya dengan warna indah, kuning keemasan di atas tanah Kenya yang telah dibasahi hujan siang tadi.
Joseph, jiwanya dari dalam hati mulai bergerak naik mengarungi memori di kepalanya. Ia bergumam seorang diri.
“Richard, aku menunggu kau kembali… Aku akan menyambutmu di Mombasa, dengan pelukan bahuku yang erat dan hangat untukmu… Lalu kita akan seperti dulu lagi. Berjalan menyusuri kebun kopi, menghirup harum yang menyusupi udara bukit. Bertualang menyeberang sabana dan bukit-bukit Kenya, mendengar nyanyian Kikuyu yang menggema dari kejauhan… Lalu menuju Danau Sonachi, tempat di mana kita sering berenang…”
Joseph menggumam seorang diri. Matanya perlahan terpejam lagi.
“Atau sekedar melepas lelah di beranda ini, Richard… Minum teh di perkebunan kopi. Hahaha… Seperti biasa… Seperti dulu…”
Lalu pemuda itu mulai berhenti bergumam. Matanya tak membuka lagi. Tampaknya ia mulai tertidur.
Sementara itu gramaphone di sampingnya masih memutar rekaman Konser Klarinet Mozart. Mengalun di antara senyapnya ambang senja, di antara basahnya udara musim penghujan di tanah Kenya…
_______________________________________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________________________________
Danau Sonachi, Kenya, 1927.
Sinar mentari memantul dari permukaan air danau, menyelinapkan kilauan-kilauan cahaya ke atmosfer sore yang ranum. Dua orang pemuda tampak bercengkrama, menangkap indahnya nuansa sore di tepi danau itu.
“Sudah yang ke berapa Richard?”
“Sudah yang ke empat kalinya kita kemari.”
“Tapi kali ini lebih indah dibanding yang dulu bukan?”
“Aku tahu, kau selalu kagum dengan langit sore yang berwarna kuning keemasan. Tapi bagiku udara kali ini tidak begitu nyaman, Joseph. Terasa lebih dingin dari biasanya…”
Joseph tersenyum-senyum sambil menyibakkan air danau dengan tangannya. “Dulu kita kemari pada waktu musim masih panas, Richard. Sekarang memang lebih dingin!” cetus pemuda tirus bertubuh ramping itu.
Joseph mulai mengalihkan pandangannya, kini ia memandangi Richard, sahabatnya yang bertubuh tegap laksana patung ‘David’ tatahan Michelangelo.
“Kita selalu berenang bila kemari. Tapi kali ini, sepertinya kau baru saja berkata bahwa saat ini tidak baik untuk berenang!” sindir Joseph.
Richard tertawa sambil merenung-renung. “Ya, aku tidak ingin berenang. Rasanya sedang tidak nyaman. Aku merasa mudah sakit akhir-akhir ini,” ujarnya sedikit murung.
Joseph melangkah mendekat, lalu duduk di samping Richard di atas tanah yang sedikit berumput. “Kalau begitu aku juga tidak berenang!” cetusnya agak kesal.
Richard merengkuh bahu Joseph yang ada di sampingnya, melekatkannya ke tubuhnya. Tangannya merayap dan mengusap rambut Joseph yang pirang. Mereka berdua terdiam, menatap danau.
“Kenapa kau baru bilang kalau kau sedang tidak enak badan? Kita tak perlu kemari bila kau sedang tak sehat?” tanya Joseph memecah kesenyapan.
“Aku ingin menikmati waktu kita, selagi aku masih di sini…” jawab Richard pelan. “Aku sudah mengatakannya padamu, berulang kali…”
“Tak usah kau katakan lagi!” potong Joseph dengan nada yang berubah dingin.
Richard mendesah, menyiratkan beban berat di dalam batinnya. “Tolong mengertilah, Joseph, aku harus pergi. Aku harus kembali ke Inggris…”
Joseph menghela nafas dalam-dalam. “Apa kau harus?” cetusnya lirih.
“Aku di sini bersama keluargaku, selama ayahku menjalani masa jabatannya di sini. Sekarang saatnya kami harus pulang ke Inggris. Aku tak punya pilihan lain. Aku ingin kau bisa mengerti keadaan ini!” jelas Richard.
Joseph menatap Richard lekat-lekat. “Dan kau tak akan kembali lagi ke Kenya?!” cecarnya.
Mata mereka bertemu dalam sorot gundah yang sama…
“Aku tak tahu, Joseph. Aku tak punya tempat tinggal lagi di Kenya…”
“Kau bisa tinggal di rumahku, Richard! Aku bisa menjelaskannya pada keluargaku, mereka akan menerimamu!” sergah Joseph berusaha keras membujuk Richard.
“Alasan apa yang akan kau jelaskan pada keluargamu? Lihatlah dunia ini dengan nyata, Joseph! Hanya perempuan yang tinggal selamanya di samping pria dengan alasan cinta. Dan hanya kepada perempuan, seorang pria akan mengucapkan janjinya di depan altar… Begitu pula sebaliknya! Aku ragu kalau kita punya alasan untuk tetap bersama… Apalagi untuk selamanya, itu tidak mungkin! Bagaimana pun, meski dengan berat hati, kita harus mengakhirinya…” desah Richard terbata-bata.
Joseph tertunduk muram. “Lalu apa yang kau cari di tempat ini, bersama orang yang bagaimana pun akan kau tinggalkan dan kau lupakan ini?!” ucapnya lirih dan getir.
Richard merengkuh Joseph lebih erat.
“Aku ingin menikmati apa yang masih tersisa dari waktu yang kita miliki… Dan… meski kita harus mengakhirinya, bagaimana mungkin aku akan melupakanmu…?” bisik Richard sedih.
Keduanya kini terdiam, duduk terpaku di hadapan danau yang makin kelam. Mentari semakin tenggelam di barat, cahaya langit pun kian redup. Hari-hari itu, kebersamaan terakhir mereka di Kenya, menjadi hal terberat yang menggelayuti hati mereka. Sisa waktu sebelum menyongsong perpisahan mereka.
Perlahan Joseph melepaskan dekapan Richard di tubuhnya, bangkit berdiri.
“Semakin dingin. Hari sudah gelap…” desah Joseph sambil beranjak, melangkah pelan menuju villa kecil yang tidak jauh dari tepi danau itu.
Tapi sesaat kemudian Richard segera menyusul dan meraih lengan Joseph, dan menariknya hingga Joseph terpaut dalam pelukan eratnya. Bibir keduanya bertemu. Batin mereka bergemuruh. Emosi mereka menggoncang. Gundah mereka beradu, meluapkan hasrat mereka yang terdalam…
“Andai aku bisa… aku tak ingin meninggalkanmu…!” bisik Richard, erat mendekap Joseph dalam pelukannya.
Dan sekali lagi senja di danau itu menjadi saksi, saksi yang tak akan mengatakan kepada siapapun selain membiarkannya menjadi satu memori dari sepasang anak manusia. Memori tentang perasaan yang mereka rahasiakan dari siapapun…
_______________________________________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________________________________
London, Inggris, akhir tahun 1940.
“Apa itu, Ibu?” seorang anak laki-laki berumur delapan tahun bertanya kepada ibunya.
“Paket pos, Sayang. Tapi Ibu belum tahu isinya,” jawab si ibu sambil tersenyum hangat.
“Apakah kado Natal? Aku boleh lihat?” tanya anak itu lagi.
“Biar Ibu membukanya dulu. Kau makanlah, di dapur Bibi Lidia membuatkan pai apel kesukaanmu!” bujuk si ibu.
Anak laki-laki itu membalas dengan senyum lebar, sambil bergegas menuju ke dapur dengan penuh semangat. Sedangkan si ibu, sambil menenteng sebuah bungkusan kotak di tangannya segera beranjak menuju ke ruangan yang lain.
Dia, seorang perempuan berusia tigapuluh tahun. Namun wajahnya masih terlihat remaja, dengan rona-rona merah di pipinya. Rambut pirangnya digelung sedemikian rupa. Dengan gaun tebal musim dingin, ia melangkah ringan dengan keanggunannya ke sebuah ruangan di lantai dua.
Di sebuah ruang baca, perempuan itu mengambil kursi untuk duduk. Ia mengamati bungkusan yang diterimanya dari petugas pos siang itu. Ia mengernyitkan kening ketika meneliti identitas pengirim yang sama sekali tidak dikenalnya. Lalu ia mulai membuka sampul paket kiriman itu.
Didapatinya sebuah kotak cover piringan hitam bertulisan besar ‘Mozart’. Ia juga mendapati sebuah amplop surat di dalamnya. Dengan penasaran dibukanya pula amplop itu. Sebuah lembar surat ia bentangkan, lalu ia segera serius membacanya.
“Kepada Richard, kawan lama yang kurindukan.
Richard, bagaimana kabarmu? Aku berharap semua baik-baik saja denganmu. Aku minta maaf karena tak ada balasan dari surat-suratmu sebelumnya. Setelah bertahun-tahun kau berhenti mengirim surat, kini aku membalasmu, untuk mengabarkan beberapa hal yang sangat perlu untuk kau ketahui.
Sesungguhnya aku hampir tak punya keyakinan untuk menulis surat ini padamu, karena aku ragu dengan alamatmu yang sebenarnya di Inggris. Sampai akhirnya secara kebetulan aku bertemu dengan Tuan Mallaby di Nairobi, teman ayahmu, yang menurut pengakuannya pernah mengunjungimu di London sekitar setahun yang lalu. Dia tak banyak bercerita tentang dirimu, dia hanya memberiku alamatmu dan menceritakan secara singkat bahwa kau telah menikah dan berputra.
Seandainya aku bisa membuka suratmu sejak awal, aku pasti akan tahu lebih awal soal pernikahanmu sebagaimana pernah kau kabarkan melalui surat terakhirmu. Dan tentunya aku tak akan terlambat memberimu ucapan selamat. Sayang sekali, aku baru bisa membuka surat-suratmu beberapa minggu lalu.
Aku telah meneliti surat-suratmu pada Joseph. Surat terakhirmu sudah sembilan tahun yang lalu kau kirim. Sejak itu kau tak pernah mengirim surat lagi. Dan aku sungguh dengan menyesal harus mengatakan padamu, bahwa Joseph tak pernah membuka surat-surat darimu itu. Dia hanya menyimpannya di dalam laci, tanpa pernah membacanya. Itulah sebabnya tak pernah ada balasan untuk surat-suratmu.
Kau perlu tahu Richard. Setelah kau tak lagi tinggal di Kenya, Joseph banyak berubah. Dia tak lagi periang. Dia hanya melamun seharian. Sepertinya dia terlalu kehilangan seseorang yang sungguh berarti baginya.
Sejak kau pulang ke Inggris, Joseph seolah-olah tak menganggapmu sudah pergi. Bahkan beberapa tahun terakhir, ia terlalu aneh bagi kami semua. Aku sendiri tak pernah berhenti cemas bila melihatnya berlaku seolah-olah kau masih ada di dekatnya. Dia sering bicara sendiri, kadang seperti sedang bicara denganmu. Dan kami tak bisa menghentikannya. Dia terlihat begitu rapuh.
Kau dekat dengan Joseph, tapi aku dan orang lain tak pernah cukup dekat denganmu. Aku sendiri tahu keakraban kalian, meskipun aku tak dapat mengerti bagaimana itu bisa terjadi. Aku mengerti Joseph ternyata sangat membutuhkanmu, meski aku masih sulit untuk mempercayai alasannya.
Kami tak tahu bagaimana mengatasi masalahnya. Kami tak mungkin membiarkan Joseph untuk menyusulmu ke Inggris dengan keadaannya yang payah. Apalagi sejak perang pertama dulu kami sudah tak punya apa-apa lagi di Inggris. Milik kami sekarang hanyalah tanah perkebunan di Kenya. Dan kami juga tak mungkin memintamu kembali ke Kenya bukan?
Ya, selama ini kami memang tak menceritakan soal Joseph pada siapapun, termasuk kepadamu. Harus kami akui, hal ini terasa seperti aib bagi keluarga kami. Tapi sekarang, aku pribadi memutuskan untuk memberitahumu karena aku sadar, kau adalah bagian dari penderitaan Joseph. Dan penderitaannya itu, sekarang sudah berakhir.
Richard, Joseph sudah meninggal, 20 April lalu. Dia pergi ke Danau Sonachi untuk berenang. Dia pulang dalam keadaan terserang malaria. Seharusnya bisa tertolong. Tapi dia sepertinya tak cukup bersemangat untuk tetap hidup. Kami semua kehilangan dia. Dan aku ingin kau tahu, mengingat dia sangat dekat denganmu, namamu disebutnya beberapa kali pada detik-detik terakhirnya.
Kami menganggap penderitaan batin Joseph telah berakhir. Kami menerimanya sebisa mungkin. Sejak meninggalnya, aku baru bisa membuka surat-suratmu yang disimpannya di laci dalam kamarnya. Aku sudah membaca semuanya, dan akhirnya aku mengerti bagaimana kau sudah berusaha membuatnya untuk menerima kenyataan. Tapi, rupanya adikku itu sudah telanjur hidup di dunianya sendiri, halusinasi dimana kau masih bersamanya. Aku rasa, itulah sebabnya dia tak pernah mau membuka surat-suratmu, karena dengan membuka dan membacanya berarti melihat kenyataan bahwa kau sudah pergi darinya.
Aku tak ingin menyalahkan siapapun, Richard. Aku hanya ingin kau tahu apa yang telah terjadi pada orang yang pernah dekat denganmu, orang yang tak pernah menerima kepergianmu.
Aku juga mengirimkan piringan hitam milik Joseph ini. Seingatku, dulu itu adalah pemberianmu juga. Sekarang, aku ingin kau menyimpannya kembali. Kau lebih paham tentangnya daripada kami semua.
Maaf bila aku sudah merepotkanmu dengan apapun yang kusampaikan padamu. Sampaikan salamku pada istrimu, Joyce. Dan juga putramu, aku tak tahu namanya. Semoga kalian menjadi keluarga yang bahagia. Terima kasih.
Salam dariku,
Emily Balley”
Perempuan itu melipat kembali kertas surat yang telah selesai dibacanya. Tangannya gemetar. Ia termenung di kursi di ruang baca itu, beberapa menit lamanya. Matanya nanar menatap sebuah potret besar yang terbingkai di dinding. Suatu pergumulan batin terpancar dari raut muramnya.
Perlahan kemudian ia bangkit, menghampiri potret besar itu. Ia diam menatap. Di samping potret itu, terbingkai juga sebuah piagam kecil dengan sebuah medali. Ia menyentuhkan jarinya menelusur tulisan-tulisan di piagam itu. Matanya tampak mulai berkaca-kaca membaca tulisan di piagam itu.
“Medali Penghormatan Richard Winston Bradbury, Prajurit Inggris Raya, Gugur sebagai Pahlawan di Kota London, 7 September 1940″
Perempuan itu mulai menggumam dengan suara lirih gemetar.
“Richard, Aku tak tahu seandainya ada masa lalu yang tak pernah kau ceritakan. Tapi bagiku kau seorang suami yang akan selalu kucintai. Kau adalah ayah yang akan dibanggakan oleh anakmu… Aku tak peduli masa lalu apa yang tak pernah aku tahu…”
Perempuan itu akhirnya tak bisa menahan air matanya. Terisak di depan potret besar suaminya.
“Ibu, aku mencari piringan hitam ayah,” tiba-tiba anak laki-laki perempuan itu masuk dan memecahkan keheningan dengan pertanyaannya.
Perempuan itu segera mengusap matanya yang basah. Dengan agak gugup ia menjawab anaknya. “Ada di laci meja ruang depan, Sayang…”
“Sepertinya itu milik ayah?” tanya anak itu tanpa memperhatikan wajah sembab ibunya, menghampiri kotak cover piringan hitam di atas meja baca.
“Bukan itu, Sayang. Itu milik kawan Ibu. Kamu putar yang milik ayah saja, ambillah di depan…” cegah perempuan itu pada anaknya.
Si anak cemberut. Dia masih tak sempat menyadari wajah ibunya yang berusaha menyembunyikan sisa-sisa air matanya. Ia lalu beranjak hendak keluar dari ruangan itu.
“Joseph…” tiba-tiba perempuan itu memanggil anaknya.
Si anak menoleh. “Ya, Ibu?”
Perempuan itu memandangi wajah putranya yang mungil dan tampan itu. Lalu ia mulai tersenyum lagi. “Putarlah lagu kesayangan ayah…” ujarnya lembut.
Si anak tersenyum lebar. “Lagu kesukaan ayah, kesukaanku juga!” jawabnya sambil beranjak pergi dengan bersemangat.
Perempuan itu kembali seorang diri di ruang itu. Dia lalu kembali duduk di kursinya tadi, dan kembali menatap potret besar suaminya. Wajah muramnya kembali terpancar haru.
“Joseph, itu nama yang kau berikan untuk anak kita. Kau juga menyebutnya saat kami menemani saat-saat terakhirmu di rumah sakit London. Kau mengigau nama itu… Berulang kali…” gumam perempuan itu lirih. “Siapa yang sebenarnya kau panggil, Richard…?”
Samar-samar mulai terdengar alunan suara dari gramaphone, rekaman Konser Klarinet Mozart. Alunan melodi mulai menjamah udara, menelusuri ruangan-ruangan di dalam rumah itu. Perempuan itu mengatupkan telapak tangan ke wajahnya. Tubuhnya tergoncang, suaranya gemetar.
“Aku mencintaimu Richard…”
this story is taken from
http://ceritasolitude.wordpress.com/cerpen-lama-dalam-kenangan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar